Tuesday 14 October 2014

PARE SI KAMPUNG INGGRIS

Juni 2013 program study saya di Universitas Indonesia, Depok, selesai. Saya berencana pulang ke Banda Aceh. Namun belum sempat saya memesan tiket pulang kampung, seorang teman datang ke kamar kost saya, menginformasikan tentang study tour selama satu bulan ke Pare plus liburan ke Bali, dengan biaya dua juta rupiah saja. 

Biaya tersebut sudah termasuk biaya transportasi pulang pergi ke Pare, Bali dan Jakarta, serta penginapan dan makan sebanyak 6x selama dalam perjalanan. Setelah saya pikir-pikir, akhirnya saya mengambil paket tour tersebut. Kapan lagi coba, toh Pare dan Bali memang termasuk dalam list daerah yang ingin saya kunjungi.

Saya sudah mengelilingi daerah Aceh, hanya tiga kabupaten lagi yang belum terealisasi. Now, waktunya menuntaskan keliling pulau Jawa pikir saya. Alhamdulillah pada tahun 2010 saya mendapat kesempatan ke beberapa daerah di Jawa Tengah, dan tahun 2012 ke beberapa tempat di Jawa Barat. Hanya Jawa Timur saja yang belum. So, tawaran tour tersebut akan melengkapi pertualangan saya di pulau Jawa; Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Lengkap sudah tanah Jawa saya jajaki, plus Bali. Ini bonus!

 Tidak terbayangkan sebelumnya akan secepat itu, namun Allah selalu punya rencana yang lebih indah. I believe that! Oleh karenanya, kesempatan emas menginjakan kaki di Jawa Timur itu tidak saya lewatkan. Ya…sekaligus saya ingin tahu ada apa sich di Pare yang terkenal dengan julukan Kampung Inggris itu, dan ada apa pula di Bali sehingga dunia lebih mengenalnya ketimbang Indonesia sendiri.

Sangking semangatnya, saya orang pertama yang melunasi biaya tour. Namun saya sempat tidak pede ketika tahu kalau saya peserta tertua diantara semua. Jumlah peserta ada 20 orang, gabungan mahasiswa UI dan UNJ, namun tidak apa. Tak jadi soal-lah, toh wajah kami semua beda tipis…hehehe…Lagian, tua mudanya seseorang tergantung pada jiwanya, bukan pada usianya. Ya nggak, guys?

Hari keberangkatan pun tiba. Semua peserta diminta berkumpul di halte UI, dekat stasiun kereta, pukul dua siang. Saya on time sampai disana, namun wajah yang saya kenal belum muncul satu orang pun. Bukan adventure namanya kalau kita hanya ngobrol dengan teman yang dikenal, bukan? 

Mengisi kekosongan waktu saya mengajak ngobrol peserta yang sudah hadir, hingga seorang panitia memanggil kami semua untuk briefing. Katanya, Bus tidak jadi menjemput kami di halte UI karena masih terjebak macet, kami diminta menunggu bus di loketnya, depan Cimanggis Square. 

Sebuah metro mini mengantar kami kesana. Duduklah kami dipinggir jalan yang penuh debu plus suara bising kendaraan yang lalu lalang. Waktu menunjukkan pukul 3 sore, waktu Ashar tak lama lagi tiba. Wajah para peserta mulai terlihat lelah, namun bus yang ditunggu tak kunjung datang. Suara adzan Ashar pun berkumandang, saya dan teman-teman memutuskan untuk shalat Ashar di Cimanggis Square. Waktu terus melaju dan adzan Maghrib pun akhirnya bergema, kami kembali ke Cimanggis Square untuk shalat. 

Selesai shalat, kami pun mengitari Mall sambil menunggu waktu shalat Isya tiba, rasanya itu lebih baik dari pada berdiri dipinggir jalan menunggu bus datang. Selepas shalat Isya kami kembali cuci mata sambil mencari makan malam. Baru saja saya dan teman-teman menyantap makanan, sebuah sms dari panitia masuk meminta kami kembali ke loket karena bus sudah datang. Saya lihat jam tangan sudah menunjukkan pukul 8 malam. Hmm…luar biasa ngaretnya, dari pukul 2 siang sampai pukul 8 malam. 6 jam!

Perjalanan dimulai, sebagian teman-teman langsung terlelap, namun sebagian lagi asyik ngobrol, termasuk saya. Pada akhirnya semua terlelap. Jam menunjukkan pukul 12 malam lewat ketika ketua rombongan membangunkan kami. Bus sudah berhenti di sebuah rumah makan, daerah Subang. Makan malam katanya. 

Hah? Makan malam jam segini? Selesai makan, perjalanan pun berlanjut, apalagi yang bisa dilakukan selanjutnya selain tidur. Ini yang menyebabkan perut jadi buncit. Habis makan tidur. Sebuah pola hidup yang sangat tidak sehat. Huh!

Waktu terasa berjalan lambat. Pinggang saya mulai bertingkah. Badan pegelnya minta ampun. Sungguh ini pertama kalinya saya melakukan perjalanan dengan bus dengan durasi waktu yang lama. Ditambah lagi jalanannya super macet sehingga beberapa kali bus harus memutar haluan untuk menghindari jalur yang padat. 

Saya terbangun dari tidur, rupanya sudah pagi, mentari mulai menyembul menyinari bumi, namun perjalanan kami masihlah panjang. Sekitar Pukul 6 sore baru kami sampai ke kota Kediri. Turun dari bus, saya dan teman-teman kembali berdiri dipinggir jalan menunggu jemputan ke Pare. Sebenarnya, saya sangat ingin ke Monumen Simpang Lima Gumul untuk mengabadikan gambar disana. Monumen tersebut mirip Arc De Triomphe yang ada di Paris. 


Namun apa boleh buat, teman-teman sudah sangat lelah, sehingga mereka meminta supir metro mini untuk langsung mengantar kami ke Pare. Sekitar pukul 9 malam, kami sampai di Zeal, sebuah Camp di Kampung Pare. Disitulah kami tinggal selama satu bulan. Pada malam itu juga bahasa Inggris kami ditest untuk penentuan kelas esok harinya, sekaligus pimpinan camp menjelaskan peraturan dan sanksi yang harus kami patuhi dan jalani selama disana.


Pare, sebuah perkampungan yang cukup asyik. Awalnya saya mengira semua orang di kampung ini berbicara dalam bahasa Inggris, mulai dari tukang becak, pedagang, dan lain-lain. Namun ternyata mereka malah ngomong dalam bahasa jawa. Jauh dari bayangan saya sebelumnya. 

Kampung ini dijuluki Kampung Inggris hanya karena banyaknya lembaga bahasa Inggris yang eksis disana. Di kelas speaking, saya bertemu dengan banyak wajah baru dari berbagai daerah; ada dari Pare, Jember, Purbolingo, Palopo, Lhoksemawe, dan Bandung. Usianya pun beragam, ada yang sudah memasuki kepala tiga dan ada juga yang masih kelas 4 SD. 

Saya cukup terkesan dengan semangat belajar mereka. Mereka berani, cukup percaya diri, dan juga memiliki mimpi yang tinggi. Sesuatu yang jarang sekali saya temui dalam diri anak-anak lainnya. Saya yakin jika semua anak di negeri ini mempunyai semangat yang tinggi untuk bangkit, Indonesia pasti maju. Tidak pakai lama! 

Perjalanan selalu membuka cakrawala saya, dan memberi inspirasi untuk terus bergerak dan berkarya. My teacher is my adventure!


Ada sebuah pertualangan seru yang membuat saya selalu mengenang perjalanan ini, yakni pada saat teman saya meng-sms nomor handphone saudaranya yang bisa saya jumpai di Pare. 

Asma namanya, kami janjian ketemuan, saat berjumpa ia mengajak saya sarapan di tempat anak muda Pare sering berkumpul (wakapo). Selesai makan saya bertanya padanya, “apa yang paling menarik dan menantang disini yang tak boleh dilewati?” 
“Benar nih mau tantangan?” Balasnya. “Iya” Jawab saya mantap. 
“Ayuk kita ke desa Canggu, ada wisata Gua Surowono disana. Lumayan jauh sich dari sini kalau pakai sepeda.” Jelasnya. 
“Tidak apa, lagian sudah lama tidak mengendarai sepeda.” Ucap saya. 

Pergilah kami berdua ke Surowono dengan mengendarai sepeda, melintasi jalan pedesaan dengan pemandangan persawaan dikiri dan kanan jalan. Akhirya setelah melewati beberapa desa dan persimpangan kami sampai ke tempat tujuan. 

Hmm…banyak sekali anak sekolahan, bahkan ada yang memakai seragam sekolah, rupanya mereka pergi satu rombongan atas nama sekolah bersama gurunya.


Wisata Surowono adalah wisata gua (lorong bawah tanah) yang dialiri air sungai bawah tanah, dimana gua tersebut menjadi penghubung tujuh sumur dengan jarak tiap sumur berkisar 50/60 meter. Dan juga merupakan bagian dari wisata sejarah sekaligus tantangan bagi mereka yang ingin uji adrenalin. 

Untuk masuk kedalam gua harus turun terlebih dulu ke sumur dengan kedalaman sekitar 5 meter dari permukaan tanah. Sebelum sampai ke mulut gua kita harus melewati air sedada, tidak terbayangkan sebelumnya saya harus berbasah-basahan seperti itu, terpaksa deh tas saya letakkan di atas kepala karena ada camera dan HP. Alhamdulillah waktu itu ada rombongan anak SD yang masuk, saya dan Asma mengikuti mereka. 


Jangan coba-coba masuk ke gua tanpa pemandu, sebab gua tersebut memiliki banyak cabang dan lorong, bila salah masuk besar kemungkinan tersesat (tidak bisa keluar). Hal demikian pernah terjadi, sehingga akhirnya para pawang masuk mencari orang yang dikabarkan hilang tersebut.

Pastikan membawa senter sebab guanya sangat gelap, sangking gelapnya bayangan orang didepan kita pun tak terlihat, hanya suara orang saja menggema. Air didalamnya cukup deras dan dingin. Banyak bebatuan tajam, harus hati-hati agar kaki tidak terluka. Lorong gua hanya selebar satu orang berdiri dengan ketinggian sekitar 1,5 m bahkan pada beberapa jalur harus berjalan dengan menunduk karena atap gua lebih rendah plus air yang deras dan batu yang licin. 

Pada dinding gua terdapat banyak ceruk, air pun merembes dengan deras, saya sempat terkejut juga saat air dingin dari celah dinding gua tiba-tiba mengenai leher saya. 


Di dalam gua kita hanya bisa berdzikir dan berjalan mengikuti orang didepan kita. Berada dibarisan paling belakang dari rombongan sempat membuat saya didera rasa takut juga. Gimana tidak, di dalam gua yang gelap, dengan aliran air dingin yang deras sepinggang, plus bebatuan yang tajam dan licin, serta banyaknya lorong-lorong gelap, bisa saja terjadi sesuatu. Namun pikiran buruk itu saya buang jauh-jauh. 

Alhamdulillah setelah sekian lama berjalan dalam kegelapan, kami sampai pada sumur terakhir. Kami naik ke atas sambil menghirup udara, senang bisa melihat langit lagi. Terlalu lama di dalam gua bisa membuat kita sesak nafas. Saya dan Asma serta yang lainnya mengikuti pemandu menuju sumur pertama. Keluar dari area gua kami menuju parkiran sepeda lalu pulang ke camp. Tak ada yang paling menyenangkan ketika kamu bisa melawan rasa takutmu, guys. :)




No comments:

Post a Comment