Tuesday 6 June 2017

INI CERITAKU MANA CERITA MU

Sejak diri ini berniat untuk kembali aktif menulis, maka file-file tulisan yang pernah terangkai namun tak terselesaikan ataup belum sempat terposting ku kumpulkan dalam satu folder. Cerita-cerita itu tidak boleh tenggelam or jadi penghuni senyap, walaupun kisahnya sudah berlalu tahunan namun pelajarannya masih bisa dikenang, so ga ada salahnya dibaca ulang, direview dan diposting dimari, siapa tahu bisa menjadi inspirasi.

Well, guys. Jum’at, 12 maret 2010, sekitar pukul 16.00 WIB, aku termagu di teras rumah menunggu teman-teman datang menjemput. Hari itu ada agenda jaulah PPNSI (Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia) dengan daerah tujuan, Aceh utara, yaitu salah satu kabupaten di Aceh yang terkenal dengan kota industrinya.

30 menit sudah waktu berlalu, namun tak ada tanda-tanda jemputan akan datang. Ku sms teman ku di Kuta Alam (salah satu kecamatan di kota Banda Aceh, 30 menit jaraknya dari rumahku), “sudah sampai dimana?”, tanyaku. “Belum di jemput”, jawab temanku.


 “Wow, berapa lama lagi ku harus menunggu”, gumam hatiku. Ku hubungi ikhwan yang menjadi ketua jaulah, “masih di Darussalam, ini baru mau ambil kunci mobil”, katanya. “Tolong cepat, nanti kita terlalu kemalaman”, ucapku.

Achhhhh…ikhwan, ini penyakit yang paling ku tak suka dari kalian. Ngaretnya minta ampun, tak tanggung-tanggung! Maaf, bukan maksudku menyamaratakan semua ikhwan/laki-laki demikian yah, namun kebanyakan begitulah. Suka telat!


Dari Darussalam ke tempatku, makan waktu 1 jam, sambil menunggu jemputan datang, ku tonton berita sore, lagi-lagi terorisme yang jadi bahasan. Dan lagi-lagi Aceh yang menjadi sorotan. Entah sampai kapan Aceh ku jadi permainan politik, setiap mata dunia tertuju padanya, selalu topik utama tak jauh-jauh dari perang, penembakan dan sejuta kasus yang memiriskan hati. Wajar saja, satu pekan kebelakang banyak teman-teman ku dari jakarta dan sekitanya bertanya bagaimana kondisi Aceh, baik via sms or via email, karena ternyata begitu dramatisnya berita di media.

Ah media, terkadang kalian terlalu mengada-ngada, ku tau itu salah satu trik untuk menarik masa/publik, namun aku tak suka Aceh ku kau jadikan kambing hitam!

Pantas saja, ibu ku juga terpengaruh dengan pemberitaan. Awalnya, aku tak dapat SIM (Surat izin melangkah) ke luar kota. Dan aku pun tak terlalu meminta restu, karena memang jum’at jadwalku mengajar di Serambi Mekkah, sabtunya agenda belajar persiapan study, dan ahad, temanku lauching buku perdananya (Selamat abu atas lauching novelnya, tunggu novel ku yah :D), sedangkan senin jadwalku mengajar di Unsiyah + rapat rutin jarimatika. Cukup melelahkan dan begitu banyak agenda yang harus kubatalkan jika ikut jaulah tersebut.

Jadi ketika ketua jaulah menelpon satu hari sebelum hari keberangkatan, “ane  tak bisa ikut, tak ada ijin ortu”, jawabku singkat. Namun mas’ul PPNSI itu tak terima rupanya, sebuah sms masuk kemudian, “Anti ikutkan? Tolong pertimbangkan, yang lain udah batalkan agenda demi kegiatan ini, usahakan ikut!”. “Nanti ane tanya lagi ke ortu, moga dapat lampu hijau”, balasku. “Tolong usahakan ikut”, balasnya lagi. “Hmm, maksa bener pak ketua ini”, bisik hatiku.

Ku lirik jam di dinding, 17.30 WIB. 1 jam 30 menit sudah aku menunggu. Satu pesan masuk, ku buka ponselku, “Jadi berangkat? Udah dimana?”, sms dari temanku yang menunggu di Bireun. Beginilah kalo ngaret, semua jadi molor, jarak tempat ku dengan Biereun lebih kurang 4 jam, sayang banget itu kawan. Ini perjalanan estafet, jika orang pertama telat dijemput, maka orang terakhir akan lebih lama lagi disamperinnya. 

Ku telpon lagi sang ikhwan, “ini lagi dijalan”, katanya. Kuperkirakan mereka sampai pukul 18.00 ke rumahku, atau paling telat pukul 18.30 WIB. Kusaksikan kembali tanyangan TV.

Suara adzan magrib pun menggema, aku terperanjak, ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 19.00, “bener-bener!” teriak hatiku. Ku ambil wudhu dan menghadap sang pemilik kehidupan, ketika pada raka’at ke tiga, HP di kantongku bergetar.

Mega terlihat perkasa di angkasa ketika ku keluar rumah menuju jalan raya. Saat pintu mobil dibuka dan aku masuk kedalamnya, satu botol minuman + gorengan satu kantong plastik disodorkan padaku. “apa ini?”, tanyaku. ”untuk dimakan”, jawab sang ikhwan. “itu penutup mulut kita”, kata temanku yang akhwat. Hahaha...semua tertawa, “sogok koq pake beginian, yaa ga mempanlah”, ucapku sambil tersenyum.

Perjalanan pun dimulai dan diskusi hangat pun mengalir, apalagi temanya kalo bukan kondisi Aceh hari ini. Yach, selain nguyonan tentang nasib negeri. Sesekali lantunan nasyid pun terdengar memecah kesunyian malam + muntahan teman-teman yang mabuk darat. Hehehe.. 

Setelah menunaikan shalat magrib+isya di masjid Saree. Perjalanan pun berlanjut. Semua tenggelam dalam imajinasi masing-masing hingga sampai ke Padang Tiji, seorang petugas meminta mobil kami berhenti. “Semoga sweeping ini ga lama”, doaku dalam hati.

“keluarkan KTP!”, kata seorang petugas, baru mau ku buka tas, “perempuan tidak usah!”, katanya lagi. “Mau kemana?” tanya petugas yang lain. “Aceh utara” jawab ikhwan yang nyupir. “Okey, silahkan lanjut”, kata petugas itu kemudian. “Mungkin karena wajah kita lugu-lugu dan sama sekali tidak berparaskan teroris makanya lewat”, ucap seorang ikhwan ketika mobil sudah berjalan. “belum tau dia, di Palestina pejuang itu banyakkan perempuan”, ucap ikhwan yang lain karena kesal atas pemeriksaan.

Kami akhwat hanya tersenyum mendengar celotehan mereka, terutama aku yang sibuk menatap angkasa. Entah kenapa begitu rindu melihat bintang dan bulan bersinar terang.

Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 malam ketika kami memasuki kota Lhoksemawe, sudah sangat sepi, sehingga kami memutuskan untuk menginap, baru besok paginya melanjutkan perjalanan ke Aceh utara. Rumah mertua Ketua KAMMI Aceh, yang sekaligus supir dan ketua jaulah waktu itulah yang menjadi tempat persinggahan kami malam itu.

Sabtu, 13 maret 2010. Pagi merekah di kota Lhoksemawe, tepat pukul 8.00 pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju Dayah Mihtahul Huda, Geumata, Aceh Utara. Dayah tersebut merupakan salah satu dayah binaan PPNSI, tahun lalu kami mengusulkan ke PPNSI pusat agar dayah tersebut memperoleh bantuan dana usaha mandiri.

Alhamdulillah lewat seleksi. Program pemeliharaan sapi pilihan mereka akhirnya bisa dijalankan. Dikarenakan kurangnya pakan, serta kondisi daerah yang cukup gersang membuat para santri harus sering membawa sapi ke padang yang jauh dari dayah agar sapi tidak kelaparan, hal tersebut cukup menyita waktu mereka. Faktor inilah yang membuat kami (PPNSI) mengadakan jaulah ke dayah tersebut guna memberi pelatihan pembuatan pakan ternak dan kompos sebagai salah satu upaya mengantisipasi tantangan yang mereka hadapi.

Kesan pertama saat memasuki jalan menuju dayah, hatiku miris, ini kota industri, namun masih ada desa yang sama sekali tak tersentuh teknologi. Desa yang cukup terpencil dengan bangunan yang sangat sederhana. Dua laki-laki menghampiri kami ketika mobil berhenti. Sapaan hangat menuntun kami menuju balai yang bangunanya sungguh sederhana. Tak lama kemudian beberapa santriwan dan santriwati pun datang, ah perempuan desa, kalian begitu lugu dan pemalu, satu kata sapaaku, satu anggukan dari mu. Namun yang aku tak habis pikir, kenapa ada santriwan yang merokok yah? Ah rokok, kau telah menjadi istri laki-laki di dunia, bahkan di sebuah dayah pun kau primadonanya. Ampun deh!

Kami menyiapkan bahan dan memasang spanduk acara, ketika seorang laki-laki berbaju koko putih datang menyapa seraya mengulurkan tangannya pada kami satu persatu. Ketika sampai giliranku, aku hanya meletakkan kedua tangan di dada dan menundukkan kepala, namun beliau masih terus berdiri di depanku dan mengulurkan tangannya. Alhamdulillah seorang ikhwan cepat membaca dan menyambut tangan pimpinan tersebut. “selamat” lirih hatiku.

Satu lagi jadi pertanyaanku dalam hati, “memangnya di dayah boleh yah berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim?” Pertanyaanku menguap di udara seiring pembukaan acara.

Penampilan sang pimpinan dayah cukup sederhana, namun pemikirannya sungguh luar biasa. Tak kusangka, di daerah terpencil seperti ini ada seorang tengku yang berpikiran modern, aku yakin dayah dan desa disekitarnya akan maju beberapa tahun mendatang jika dipimpin oleh sosok demikian.

Selesai presentasi, praktek di lapangan pun dimulai. Sekali lagi aku terkejut, sang pimpinan hadir dengan tampilan yang berbeda, style petani lengkap dengan topi di kepala dan sepatu boat. Orangnya cukup gesit, melakukan setiap tahap praktek dengan cepat, dan santriwan serta santriwatinya pun bersemangat. Kerjasama yang apik itu membuat praktek pakan ternak dan kompos selesai dalam waktu singkat.

Aku kembali tersentak, ketika sang pimpinan dayah berkata pada semua yang hadir di tempat tersebut. “Hari ini kita mendapat ilmu baru, dengan ilmu ini kita bisa memanfaatkan jerami yang biasanya tidak terpakai lagi disawah untuk membuat pakan untuk sapi, dengan begitu kita tak perlu lagi membawa sapi ke padang dan menempuh jarak yang jauh untuk mencari rumput. Dengan ilmu baru ini pula, kita bisa manfaatkan kotoran sapi untuk membuat pupuk kompos, yang dengannya kita bisa menanam beragam tanaman buah dan sayuran dan juga budidaya rumput di tanah yang tandus itu. Saya yakin dalam waktu dekat kita bisa naik haji jika serius.”

Wow! Great! Kembali Allah mempertemukanku dengan orang-orang yang punya pemikiran hebat. Dengan orang-orang yang tak pernah melihat keterbatasan (kemiskinan) sebagai sebuah kendala untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Tak terpikir olehku kalau beliau punya tujuan setinggi itu. Ketika ilmu agama dan ilmu umum/sains berpadu dalam satu pribadi, hasilnya dasyat euy!

Usianya sekitar 40an tahun perkiraanku, namun mimpi-mimpinya masih tinggi, padahal kondisi di sekitarnya sungguh masih perlu banyak kerja keras. Namun tak terlihat sama sekali sikap pesimis dari pimpinan dayah ini. Membuat aku berkaca pada diriku sendiri, aku masih cukup muda, tak pantas rasanya kalah sama pimpinan dayah ini, jika beliau saja masih berani bermimpi, kenapa aku tidak!

Ini rupanya pelajaran penting yang ingin Allah berikan padaku, walau awalnya terjadi sedikit kebimbangan untuk ikut atau tidak jaulahnya. Namun taufik dan hidayah itu dari Allah, aku bersyukur Allah masih memberikan keduanya kepadaku, sehingga langkah kaki ini ringan menuju segala sesuatu yang membuatku lebih dekat kepadaNya.

Bukan hanya itu, pelatihan kedua kami lakukan pada kelompok tani binaan di daerah Bireun esok harinya. “Rajawali” itu nama kelompok ternak tani yang akan kami datangi. Ternyata, itu bukan sekedar nama guys, ada filosofinya. Kami memberi nama ‘rajawali, karena kami ingin menjadi raja bagi keluarga kami sendiri, mampu memberi pelayanan maksimal untuk keluarga kami, dan itu dimulai dari kelompok ternak tani ini”, ucap ketua kelompok tersebut.

Terharu, sungguh aku terharu mendengar mereka memiliki visi yang jelas akan masa depan kelompok ternak taninya.

Ketika diperkotaan sana, banyak ku jumpai para pemuda yang kehilangan visi hidup, yang pesimis menatap masa depan, yang tenggelam dalam nyanyian menyesatkan, yang terjebak oleh perasaan diri pada tempat yang tidak seharusnya. Disini, di desa yang terpencil ini, justru ku jumpai bapak-bapak dengan usia hampir setengah abad, namun masih mampu mengenali diri dan mengendalikan diri serta hidup mereka. Kemana nyalimu wahai pemuda! Terutama kalian yang lebih paham agama untuk apa kita terlahir ke dunia!

Tahun lalu, mereka juga mendapat kuncuran dana usaha mandiri dari PPNSI pusat, penggemukan sapi itu program pilihannya. Ada 28 sapi sekarang ini di kandang mereka. Sungguh banyak feses yang sudah mereka tampung, dengan pelatihan kompos, akhirnya mereka punya ide baru, menjual pupuk kompos dan membeli bibit bunga yang mahal untuk kemudian dibudidayakan sebagai penghasilan tambahan dengan memanfaatkan limbah yang ada.

Kami pun mendapat slogan baru sepulang dari sana, sepanjang perjalanan pulang, setiap melihat sapi, fesesnya atau apapun hampir serentak semua berkata “ada uang berjalan” hehehe... kisah seru di akhir pekan antara Aceh utara dan Bireun kami dapati arti kehidupan secara lebih dalam. Sungguh senang rasanya bisa memberi arti bagi banyak orang, apalagi mereka yang tak sempat mengecap dunia pendidikan karena faktor ekonomi.

Terima kasih ya Allah atas nikmatmu yang tak terhitung. Jadikan kami selalu hambaMu yang pandai bersyukur, Aamiin.

Ahad, 14 Maret 2010, sekitar pukul 15.00 kami undur diri dari Bireun, kembali ke Banda Aceh dengan semangat yang luar biasa. Kalau ketika pergi ada yang mabuk darat, sepulangnya yang ada hanya wajah ceria, apalagi selepas singgah di tempat wisata Batee Iliek. Puas bener ikhwannya berenang disana. Sedangkan aku memilih menatap gemuruh air bendungan sambil bermain dengan ponselku dan sesekali melihat pemandangan di sekeliling sungai.

Tepat pukul 17.00 kami meninggalkan Batee Iliek, tiba-tiba teringat program favorite ku “Golden Ways” dan “Republik Mimpi”, kuingatkan dua sahabat ku untuk menontonnya. Karena masih dalam perjalanan tentu tak bisa menyaksikan acara tersebut. Namun begitu, pelajaran yang ku dapatkan dari perjalanan itu sungguh luar biasa! Pukul 18.40 kami sampai di Sigli, menunaikan shalat magrib dan isya disana, selesai shalat satu sms masuk, “I’m watching your favorite program”, ahaa…ada yang bisa ku minta share tentang program favoriteku rupanya. :D

Perjalanan pun berlanjut. Entah kenapa tiba-tiba tema diskusi di mobil beralih ke proposal nikah. Ikhwan-ikhwan, kalau diskusi, jika tidak soal politik, pasti soal cinta. “Aku mau ambil S3 dulu baru kemudian S2, biar lebih konsen kuliahnya”, ucap seorang ikhwan.

“Ukhti, anti mau lanjutin study kemana nanti?” Seorang ikhwan tiba-tiba bertanya kepada ku. “InsyaAllah kemana Allah langkahkan kaki ane, kesitulah ane akan pergi”, jawabku. “sebaiknya nikah dulu, kalau tidak bahaya”, sarannya kemudian. “Hmm, nikah itu sudah ada yang mengatur akh, tinggal tunggu waktu yang tepat sajalah, kalo sudah waktunya tak ada seorang pun yang bisa menghalangi. Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik. Pangeranku tidak akan jadi pangeran orang lain. Tidak akan tertukar! Selama terus memperbaiki diri, yang baik pasti akan datang, jika tidak sekarang, ya saat Allah merasa ane sudah waktunya menikah”, tegasku.

Suasana di mobil hening sejenak. Jadi punya ide untuk up date status malam itu. Baru saja ku tulis “Aku malas berbicara tentang cinta....” eh tiba-tiba batere HP ku habis total. Mati tak bisa hidup sama sekali, sedangkan perjalanan masih jauh. Apalagi yang bisa dilakukan selain menerawang angkasa dari balik jendela kaca.

Perkiraan ku pukul 21.00 sampe ke rumah, namun di puncak seulawah ban mobil kami bocor. Oh my God, sempat juga hatiku was-was, dalam gelap di puncak gunung, para ikhwan turun mengganti ban, sedangkan kami tetap duduk di mobil. Lumayan lama juga ban itu bisa diganti. Paling tidak, kejadian ini merupakan sebuah bukti. Acehku baik-baik saja, kawan! Karena sepanjang perjalanan pulang, alhamdulillah tak ada gangguan walau akhirnya sampai kerumah pukul 23.00 malam.

Moga ada yang bisa diambil dari cerita ini. Bagi diriku sendiri, ini bukan waktunya untuk berleha-leha. Aku yakin semua kita punya impian. Dan sekarang bukan saatnya lagi bermain-main dan tenggelam oleh waktu. Setiap detik yang berlalu takkan mampu kau putar ulang, kawan! Pekerjaanmu lebih banyak dari waktu yang tersedia!”, itu kata Iman Hasan Al-Bana. Selalu ada harga yang harus kita bayar untuk sebuah kesuksesan atau pun kebahagiaan.

Orang-orang yang sekarang ini berada di puncak keemasan (baik dalam pekerjaan, pendidikan, jabatan dan cinta) tidak meraih semua itu dengan sekedar membalikkan telapak tangan. Ada kerja keras, ada kemauan kuat, ada keistiqomahan pada tujuan, ada doa dan harap, ada keberanian menentukan sikap, ada proses kegagalan dan kemudian belajar dari semua proses itu.


Ayolah kawan, janganlah berpangku tangan. Mari kita bangun dan raih kembali peradaban dan kejayaan islam. Teruslah bergerak, berfikir dan bekerja. Kerahkan potensi dan kobarkan semangatmu, berpegang teguhlah pada Al-quran dan sunnah. Jangan biarkan jiwamu ringkih dan langkah mu stagnan. Luruskan niat dan berbenahlah! Harapan itu masih ada!




2 comments:

  1. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian ya mba, salam kenal saya juga anggota grup wa komunitas blogger muslimah jambi :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup. Exactly mba Enny :)
      Allah know best...Kita hanya perlu mjd pembejar tiap waktu untuk tahu hikmah dari setiap peristiwa.

      Delete